Identitas Buku

  1. Judul               : Lingkar Tanah Lingkar Air
  2. Penulis             : Ahmad Tohari
  3. Penerbit           : LkiS Yogyakarta
  4. Cetakan           : 2003
  5. Tebal               : 164 halaman

 

 

Ahmad Tohari dikenal sebagai salah satu novelis besar yang dimiliki Indonesia, bersanding dengan Pramoedya Ananta Toer. Gaya bahasa yang khas, serta penggambaran latar pedesaan yang kuat menjadi salah satu daya tarik buah pena miliknya, pun salah satunya adalah novel yang bertema sejarah ini : Lingkar Tanah Lingkar Air.

Amid, pemuda desa yang hidup di tengah pergulatan sejarah Indonesia. Masa yang kadang sangat mencekam, tapi disisi lain juga menimbulkan hasrat untuk melakukan apa yang disebut perjuangan. Kisah ini dimulai saat Amid dan ketiga rekannya ─Kang Suyud, Kiram, dan Jun─ diminta untuk menjadi tentara sukarela dalam perjuangan merebut kemerdekaan dari Belanda.

Amid yang saat itu merupakan santri seorang ulama di desanya ─Kyai Ngumar namanya─ bermaksud meminta persetujuan gurunya tersebut untuk memutuskan bergabung atau tidaknya ia dengan para tentara sukarela tersebut. Sebagai orang tua kedua, Kyai Ngumar tentu saja mengizinkan, sebab berjihad membela dan memperjuangkan kebebasan negara juga merupakan tanggungjawab setiap rakyat.

Konflik bermula saat Kang Suyud, Kiram, dan Jun mulai ‘melepaskan diri’ dari ikatan dengan tentara nasional dan malah memilih bergabung dengan pasukan Kartosuwiryo hanya karena mereka berpendapat bahwa tentara nasional merupakan sekutu komunis. Amid pun dilema. Satu sisi ia tetap ingin berjuang dengan kawan-kawannya, tapi disisi lain ia juga tidak mau melawan pemerintah NKRI, karena ia sendiri sudah mengetahui dari Kyai Ngumar bahwa negara islam yang didirikan Kartosuwiryo tidak sah, sebab dalam islam tidak diperkenankan mendirikan negara diatas negara.

Dengan keputusan yang berat, Amid harus ikut berperang bersama rekannya dan mengabaikan nasihat Kyai Ngumar untuk tidak bergabung dengan pasukan Kartosuwiryo karena hal itu haram hukumnya. Benar saja, Amid dan kawan-kawannya akhirnya hidup dalam pelarian selama berbulan-bulan.

Saat mencoba bertahan hidup di hutan belantara, datang kabar bahwa perjuangan sudah dihentikan dan mereka diminta untuk kembali saja ke desa, yang paling merasa kecewa adalah Kiram dan Jun, sedangkan Amid hanya berpasrah diri menerima keadaan. Rasa kecewa yang mendalam berubah menjadi amarah yang terpendam saat mereka kembali ke desa dengan menanggung malu sebagai pelarian. Berkat nasihat Kyai Ngumar, Amid dan kawan-kawannya mencoba untuk berlapang dada dan mulai membuka lembaran hidup baru. Akan tetapi, saat sudah mulai menata hidup yang sempat terkoyak, panggilan datang pada mereka untuk bergabung menjadi tentara nasional dan ikut membantu ‘membersihkan’ sisa –sisa perlawanan anak buah Kartosuwiryo. Tentu saja orang yang paling bergairah saat menerima panggilan tersebut adalah Kiram, Jun, dan Kang Suyud, karena akhirnya mereka berhasil untuk menuntaskan gerakan mereka dan melawan pihak yang memang salah. Amid pun ikut senang, walau dalam hatinya masih terbersit kebimbangan. Pertempuran yang mereka pikir tidak besar, ternyata salah. Harga kembalinya mereka ke medan perang harus dibayar mahal dengan kematian Amid dalam keadaan jihad fii sabilillah membela NKRI. Kesedihan tergambar jelas saat Kiram, Jun, Kang Suyud melihat Kyai Ngumar menetaskan air mata saat membimbing Amid mengucap kalimat tahmid. Disini mereka baru memahami, apa arti sebenarnya dari perjuangan. Ya, kawan mereka, Amid telah membuktikannya.

Sebagai penutup, kesan saya setelah membaca novel ini timbul semangat nasionalisme yang lebih membara saat ikut merasakan perjuangan Amid dan kawan-kawannya. Mereka berjuang mati-matian untuk membela NKRI, walaupun pada awalnya mereka mengalami masa chaos  untuk menentukan siapa kawan dan siapa lawan. Nuansa islami juga cukup terasa karena Ahmad Tohari, seperti biasa, memasukkan pedesaan dengan segala kehidupannya kedalam novel ini. Sedikit kekurangan dalam novel ini adalah kurangnya penggambaran yang khas mengenai alur dalam novel ini serta kurang kuatnya beberapa karakter dalam novel. Terlepas dari kekurangan-kekurangan tersebut, novel ini sangat dianjurkan untuk dibaca, khususnya bagi para mahasiswa sejarah.

Leave a comment